BREAKING NEWS

The Power Of Santri

Sabtu, 29 Januari 2022

Pemandian Bektiharjo

 



Pada akhir tahun ajaran, biasanya keamanan pondok mulai memberlakukan masa bebas. Sambil menunggu haflah akhirus sanah dan setelah selesainya imtihan semester dua, biasanya santri sedikit dibebaskan untuk keluar area pondok. Waktu itu selesai imtihan semester dua kelas 5 Muhadloroh, ada beberapa teman yang mengajak untuk mandi di pemandian alam Bektiharjo. Ada sekitar sepuluhan teman angkatan yang rencana ikut gabung ke salah satu pemandian kuno di Tuban itu. 


Pemandian dengan sumber mata air alami ini merupakan peninggalan Raden Danur Wendo dari kadipaten Tuban, yang sejak abad XIII sudah berfungsi sebagai sumber air minum. Pemandian ini berjarak sekitar 5 Km dari Kota Tuban dan terletak di desa Bektiharjo, kecamatan Semanding, kabupaten Tuban, Jawa Timur. Pemandian ini sangat cocok untuk digunakan sebagai relaksasi setelah mengalami kepenatan selama di pondok. 


Walhasil, kami pun segera menuju ke Tuban dengan menaiki armada bus yang selalu lewat di depan pondok tercinta itu. Memang pondok sarang itu 24 jam selalu dilewati bus jurusan Surabaya-Jakarta karena letaknya yang strategis di jalur pantura. Setelah sampai di Tuban lalu kami naik angkot jurusan Bektiharjo kec. Semanding. Singkat cerita, kami pun sampai di pemandian dan segera mandi di sana. Setelah sekira sejam berendam di air dan kepenatan terasa hilang, kami segera mentas dan makan siang di situ. Di pemandian itu, banyak warung-warung yang menjajakan masakannya. Di pemandian itu juga banyak sekali monyet-monyet yang kadang mengejar pengunjung. Mungkin dia caper ya dengan pengunjung yang datang.


Setelah selesai makan, kami pun segera meninggalkan bektiharjo menuju kota Tuban. Setelah sampai di jalur pantura kota Tuban, tiba-tiba teman saya mengajak untuk bonek sampai ke pondok. Saya pun pasrah aja diajak bonek dan itu akan menjadi pengalaman pertama bagiku, pikirku waktu itu. Setelah menunggu beberapa menit, lewatlah truk muatan semen Gresik. Tanpa pikir panjang, teman-teman pun langsung pada naik ke truck itu, tak terkecuali saya. Di atas truck kami pun bersendau gurau dan tertawa lepas. Kami merasa senang karena bisa ngirit lima belasan ribu kira-kira. Namun ternyata dugaan kami meleset, truck semen Gresik itu ternyata hanya sampai Glondong kec. Tambak Boyo dan masuk ke kiri menuju pabrik. Teman-teman saya yang memang sudah terbiasa bonek itu pun segera pada turun walaupun posisi truck masih jalan. Mereka pada melompat seperti bajing yang sudah terlatih. Naas bagi saya, wajah lugu yang tidak biasa bonek ini pun bingung. Mau loncat gak berani, gak loncat nanti ikut masuk ke pabrik. Akhirnya dengan mengumpulkan segenap keberanian dan tenaga, saya pun loncat juga. Alhamdulillah berhasil, mungkin Tuhan masih sayang dengan saya. 😂😂😂

Jumat, 28 Januari 2022

Khidmah di NU

 


Sebenarnya sampai saat ini nama saya masih tercantum di kepengurusan NU. Di cabang saya ikut di RMI NU kab. Kudus yang dipandegani mas Khifni Nasif dan di MWC NU tercatat di LBM kec. Kota. Namun harus saya akui bahwa saya tidak aktif di kepengurusan tersebut. Ketika saya diajak untuk bergabung, saya sudah bilang tidak bisa karena saya terikat di pondok pesantren Qudsiyyah Putri sebagai pengasuh. Saya tidak mau jika terlalu sibuk organisasi di luar akan mengurangi dan mengganggu kinerja saya sebagai pengasuh. Saya adalah tipe orang yang harus menjalankan tugas atau amanah dengan baik, jadi saya tidak mau mengecewakan pengurus yang sudah mempercayai saya. 


Namun ketika sudah saya jawab seperti itu, mereka masih memaksa saya agar tetap ikut dicantumkan. Akhirnya saya pun hanya mempersilakan, namun dengan konsekuensi mungkin tidak bisa begitu aktif. Setelah beberapa tahun berlalu ternyata betul dugaan saya. Ponpes Qudsiyyah Putri semakin berkembang dengan santri sekitar 600 orang, membuat saya relatif lebih konsen untuk mengurus pondok daripada kegiatan organisasi di luar. Bahkan untuk mengunjungi orang tua pun sepekan sekali kadang belum tentu. Ya saking banyaknya urusan pondok yang harus diselesaikan, apalagi yang berkaitan dengan wali santri. 


Di NU sendiri sebenarnya saya aktif berorganisasi mulai dari bawah. Tahun 2005 saya menjadi ketua IPNU ranting padurenan. Ketika itu saya juga menjadi tim instruktur PAC IPNU kec. Gebog. Setahun kemudian saya mondok ke sarang, jadi untuk berkecimpung di NU harus off dulu. Setelah pulang dari sarang dan kembali ke Padurenan, tahun 2015-2017 saya dipercaya untuk memimpin GP. Ansor desa Padurenan. Dan akhirnya tahun 2017 itu saya diberi amanah untuk menjadi Pengasuh di ponpes Qudsiyyah Putri. Aktif di NU pun off kembali.


Semoga nanti ke depan, bisa diberi kesempatan untuk khidmah di NU kembali.

Kamis, 27 Januari 2022

Haul KHR. Asnawi (3)

 



Madrasah Qudsiyyah adalah salah satu madrasah tertua yang didirikan oleh KHR. Asnawi. Qudsiyyah didirikan pada tahun 1919 M, yang berarti bahwa beliau lebih dahulu mendirikan madrasah sebagai majlis untuk menyebarkan ilmu daripada mendirikan pondok pesantren. Ponpes Roudlotut Tholibin sendiri didirikan oleh KHR. Asnawi pada tahun 1927 M, atau 8 tahun setelah berdirinya madrasah Qudsiyyah.


Rabu kemarin, 26 Januari 2022 madrasah Qudsiyyah mengadakan peringatan haul muassis dengan rangkaian khotmil qur'an yang diadakan di masing-masing tingkatan. Mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah, baik putra maupun putri. Semua serentak mengadakan khotmil qur'an mulai pukul 08.00 WIB. Di Qudsiyyah Putri sendiri, khotmil qur'an berakhir sekitar pukul 09.30. Setelah itu agenda dilanjutkan dengan ziarah ke makam KHR. Asnawi di komplek makam Kangjeng Sunan Kudus. 


Santri-santri putri sangat senang jika ada agenda ziarah terutama santri pondok yang notabene jarang bisa keluar dari area ponpes. Walaupun naik truck dengan full AC, semua santri kelihatan bahagia dan bersemangat. Karena banyaknya santri dan waktu yang sudah agak siang, maka santri dibagi menjadi dua, ada yang di area makam mbah Sunan Kudus dan ada yang di area makam KHR. Asnawi. Setelah selesai ziarah, santri-santri segera kembali ke madrasah untuk makan siang. Siang itu sudah disiapkan makan kepungan atau nampanan sebagai ciri khas santri. Agenda haul muassis adalah agenda tahunan. Tahun ini merupakan haul yang ke 64. KHR. Asnawi wafat pada tanggal 25 Jumadal Akhiroh 1379 Hijriyyah yang bertepatan dengan 26 Desember 1959 Miladiyyah. Semoga santri-santri qudsiyyah baik putra maupun putri senantiasa mendapat keberkahan dari muassisnya. Amiiin.

Selasa, 25 Januari 2022

Cheking Akhir Persiapan Haul KHR. Asnawi



Selasa malam kemarin panitia mituhu muassis mengadakan rapat cheking akhir karena waktu pelaksanaan haul tinggal sehari lagi. Haul Muassis yang menjadi agenda tahunan IKAQ itu akan dilaksanakan besok malam kamis pon, 24 Jumadal akhiroh 1443 H. Haul Muassis diadakan di kompleks makam Kangjeng Sunan Kudus karena makam Mbah Raden Asnawi ada di sana. 


Selama dua tahun kemarin cuaca tidak begitu mendukung karena terjadi hujan walaupun dengan intensitas yang tidak begitu besar. Ketika hujan pasti semua orang menyalahkan, piye tah iki dipawangi opo ora? Gerutu sebagian orang. Bagi saya ketika haul seorang ulama' koq hujan itu menunjukkan kebesaran ulama' tersebut. Hujan adalah rahmat Allah, ketika ada haul seorang ulama' atau wali Allah maka Allah akan menurunkan rahmatnya. Seberapa hebat pawang itu, kalau jatahe hujan ya hujan.


Dalam rapat cheking malam itu semua seksi melaporkan kesiapannya masing-masing, mulai dari acara, perlengkapan, seksi khotimin, akomodasi, dan sebagainya. Sebelum acara rapat koordinasi, tak lupa untuk membaca do'a rosul dan selametan bubur abang putih terlebih dahulu. Ini adalah tradisi setiap mau ada event agar selama acara berlangsung diberi kelancaran. Malam itu saya yang ditunjuk untuk membaca do'a rosul. 


Haul muassis tahun ini adalah acara yang digelar sesuai prokes untuk kedua kalinya. Ya, karena masih dianggap musim pandemi, maka kami harus mengikuti arahan dari satgas Covid kabupaten Kudus. Memakai masker, jaga jarak, dan sudah vaksin adalah beberapa protap pencegahan Covid 19 yang diharapkan oleh satgas Covid kab. Kudus bisa terpenuhi. Semua ini dilakukan demi kebaikan bersama. Semoga acara haul muassis besok malam bisa berjalan dengan lancar.

Senin, 24 Januari 2022

Posonan di Trenggalek




Pada tahun 2009 saya diajak teman saya untuk posonan ke Trenggalek. Waktu itu saya tidak begitu tau spesifikasi pondok yang dituju teman saya. Saya kira ya ngaji kitab seperti di sarang. Sebelum pamitan sama gus Wafi, karena ketika itu saya memang dekat dengan beliau, beliau bertanya. "Posonan ning kono lapo bah?" Gih pingin ngucali pengalaman gus, jawab saya. Yo wis ati-ati, jawab beliau.


Malam terakhir bulan sya'ban itu kami pun berangkat dari sarang. Sekitar pukul 03.00 wib bus sampai Tuban dan kondektur membangunkan para penumpang. Yang sahur yang sahur, suara sanyut-sanyut itu terdengar. Karena baru enakan tidur, kami pun tidak mengiyakan seruan kondektur itu. Sampai akhirnya bis berangkat lagi dan sampai di Babat tepat suara tarkhim pertanda mau adzan subuh. Karena sudah tidak ada waktu kami pun sudah pasrah untuk melalui puasa hari pertama tanpa sahur. Saya melihat teman saya minum air keran untuk menambah amunisi tubuh. Kasihan sekali teman saya itu 😅.


Pagi harinya kami pun melanjutkan perjalanan menuju ke kwagean pondoknya yai Hannan. Saya mampir ke situ karena ada teman Qudsiyyah yang mondok di situ. Setelah sampai di Pare, saya hubungi teman saya tapi gak ada balasan. Ternyata di kwagean sudah mulai balagh romadlonnya, sehingga teman saya tidak on hpnya. Sambil menunggu, kami pun pergi ke musholla dan tiduran di situ. Ketika itu sudah siang hari jadi perut kami sudah mulai lapar. Teman saya mengajak untuk membatalkan puasa saja tapi saya menahannya. Poso hari pertama mosok mukak, jawab saya. Walaupun secara hukum kami diperbolehkan mengganti di hari yang lain karena sedang musafir.


Setelah jamaah dhuhur akhirnya teman saya baru menghubungi dan kami pun akhirnya mampir sebentar ke pondoknya yai Hannan. Setelah dirasa cukup kami pun melanjutkan perjalanan menuju Trenggalek. Karena naik turun bus, waktu pun tidak bisa diprediksi. Adzan maghrib posisi kami masih di bus, belum sampai ke Trenggalek. Akhirnya kami pun buka puasa seadanya dengan membeli jajan yang dijajakan para penjaja yang berlalu lalang. Sekitar isya kami pun sampai di Trenggalek tepatnya di desa Kamulan, saya lupa nama pondoknya. Kami pun segera mendaftar dan mendapatkan kamar. Agar tidak ketinggalan tarowih, kami pun segera menuju ke masjid. Setelah tarowih selesai dan istirahat sebentar, balagh Romadhon pun segera dimulai. 


Romo Yai Masruhin, itulah nama pengasuh pondoknya. Setelah membaca kitab ternyata yang dibacakan adalah kitab-kitab ijazah kanuragan. Saya pun sedikit kecewa dengan teman saya, saya kira ngaji kitab seperti di sarang ternyata ilmu kanuragan. Bersambung..


#30haribercerita

#harikeduapuluhempat

Minggu, 23 Januari 2022

MA Qudsiyyah Putri Menerima Santri dari Luar





Dua tahun kemarin yaitu tahun ajaran 2020-2021 dan 2021-2022, MA Qudsiyyah Putri hanya menerima lulusan dari MTs Qudsiyyah Putri saja. Hal ini dilakukan dengan alasan kurang tersedianya ruang kelas untuk menampung santri putri. Tahun pertama, MA Qudsiyyah Putri hanya menerima sekitar 66 santri dari sekitar 84 santri yang lulus dari MTs nya. Lalu di tahun kedua menerima sekitar 100 santri dari 220 santri yang lulus. Sebenarnya sudah banyak yang menanyakan apakah MA Qudsiyyah Putri menerima santri dari luar. Namun dari pengurus Yayasan memutuskan untuk tidak menerima dulu santri dari luar karena keterbatasan ruangan.


Awal januari kemarin saya sowan pengurus Yayasan Pendidikan Islam Qudsiyyah Menara Kudus, bapak KH. Em Nadjib Hassan. Sowan saya itu bermaksud menanyakan apakah tahun ini MA Qudsiyyah Putri menerima santri dari luar apa tidak? Karena sudah banyak yang menanyakan, khususnya guru dan alumni sendiri. Pak Nadjib pun bertanya dulu sebelum memberi keputusan. Kiro-kiro sing pindah ono pirang kelas tahun iki?, tanya beliau. Menurut saya gih paling hanya satu kelas pak, jawabku. Yo wis buka sak kelas wae, tapi dengan kualifikasi yang sesuai dengan alumni MTs sini, lanjut beliau. 


Sejurus kemudian, saya pun menanyakan. Untuk hafalane pripun gih pak? Yo ojo dipadakke, sak ngisore sitik, kiro-kiro entuk piro cah kene? tanya beliau. Untuk tahfidz gih rata-rata juz empat ke atas, kalau alfiyyah 300 sampai 500 bait, jawab saya. Yo wis sing tahfidz 3 juz, sing alfiyyah 300 bait, tegas beliau.


Akhirnya MA Qudsiyyah Putri diputuskan menerima santri dari luar dengan kualifikasi sebagaimana di atas. Semoga ada cukup waktu untuk persiapan.


Monggo brosur Qudsiyyah Putri. 

Minggu, 09 Januari 2022

Nyuci Tepak



Diantara aktivitas harian santri Qudsiyyah Putri adalah nyuci tepak. Mungkin tepak adalah singkatan dari tempat pakanan, namun apapun itu namanya kalau tidak dicuci dan dikumpulkan tepat waktu maka santri bisa-bisa tidak dapat jatah makan. Sejak awal mengelola ponpes Qudsiyyah Putri, saya sudah mengganti sistem makan santri sampai tiga kali. Setiap sistem saya evaluasi dengan tujuan santri bisa makan tepat waktu dan yang paling penting adalah semua santri mendapatkan jatah makan tanpa terkecuali.

Ketika awal-awal tahun pertama dengan santri yang hanya berkisar 60 an, santri-santi bawa piring sendiri-sendiri ke dapur dan mengambil nasi sesuai kebutuhan masing-masing. Satu dua bulan berjalan dengan baik, namun lambat laun mulai ada keluhan lauknya kurang. Su'uddzon saya, lauknya digondol oleh tikus-tikus yang memang juga butuh makan. Akhirnya sistem ini kami evaluasi. Santri tetap membawa piring tapi ada santri yang piket untuk mengambilkan jatah nasi dan lauknya.

Sistem kedua itu berjalan sampai tahun angkatan kedua. Setelah santri agak banyak, sekitar 200 santri, maka santri yang piket mulai kewalahan. Akhirnya saya merubah dengan menambah tenaga dapur, dengan tujuan tenaga dapur lah yang mengambilkan jatah makan, tidak lagi melibatkan santri. Disini muncul kendala lagi, tenaga dapur yang sedikit tidak bisa mengakomodir jumlah santri yang begitu banyak, akhirnya antrian mengular seperti antri sembako.

Sistem ketiga pun saya jalankan, setelah study banding ke pondok-pondok lain dan adanya masukan dari wali santri. Sistem ini saya kira yang paling efektif untuk mengurai masalah sosial di ponpes yang kami kelola yaitu pembagian makan tepat waktu. Ya, TEPAK menjadi solusi yang tepat sampai saat ini. Jadi setiap santri kami belikan tepak makan, lalu tepak harus dimasukkan ke box besar masing-masing kamar. Mereka harus mencuci tepak itu setelah makan dan menaruhnya kembali ke dalam box. Box ini lalu ditaruh di dekat dapur untuk selanjutnya akan diisi oleh tenaga masak. Saat ini ada 600 an santri, dengan tenaga masak 12 orang. Masak sehari tiga kali, jadi per shift ada empat tenaga masak. 

Dari mencuci tepak itu, santri mendapatkan pengalaman berharga bahwa hidup di pondok itu tidaklah mudah, butuh perjuangan dan kerja keras agar bisa mendapat ilmu yang bermanfaat. Nyuci tepak tepat waktu juga mengajarkan kepada mereka untuk disiplin dan bertanggung jawab. Selamat mencuci tepak!!!

Sabtu, 08 Januari 2022

Sengsara Membawa Nikmat

 


Saya mondok di ponpes Al Anwar Sarang selama 3 tahun, tepatnya tahun 2006-2009. Setelah itu saya ikut khidmah mengajar di MA Al Anwar mulai 2009-2012. Selama 6 tahun itu suka duka dunia pesantren sudah saya alami. Mulai dari kehabisan uang saku, kebiasaan ngirit makan dua kali sehari, mbulet di padepokan kang Malik Ibrahim , sampai mengidap penyakit legendaris santri yaitu gudiken.

Gudiken sendiri masih saya alami sampai sekarang 😂. Padahal kondisi air sudah beda, cuaca juga adem tapi masih aja gatel-gatel itu kumat sampai sekarang. Apalagi kalau habis makan telur atau ikan laut yang kaya protein, pasti dijamin akan kukur-kukur dalam waktu yang dekat. Mungkin ini adalah cobaan untuk mengurangi dosa-dosa saya, khusnuddzon yang biasa saya kedepankan. 

Dulu orang tua banyak yang bilang bahwa durung diarani santri temenan nek durung gudiken. Tapi koq ya sudah punya anak Yahya Maya Balya Royya penyakit itu masih aja cinta sama saya. Saya itu pernah stand up comedy di depan santri-santri Qudsiyyah Putri, dengan materi gudiken yang saya alami. Semua santri tepuk tangan, padahal saya menderita tiap hari. 

Namun ada satu hal yang perlu diketahui, bahwa dibalik gatalnya gudiken itu ada suatu kenikmatan tersendiri. Ya nikmatnya kukur-kukur ini hampir seimbang dengan nikmatnya jima' 😁. Kalau sudah dikukur sampai lecet ada rasa puas yang tidak bisa digambarkan. Tapi jangan ditanya setelah itu, perihnya minta ampun kalau terkena air. Mungkin inilah yang disebut sengsara membawa nikmat.

Jima' 70 kali


Imam Umar bin Muhammad Az Zamakhsari (467-538 H.) atau yang lebih dikenal dengan Imam Zamakhsari adalah seorang ulama' yang terkenal kealimannya. Tafsir Al Kasyaf, salah satu karya monumental beliau menjadi bukti kepakaran beliau dalam ilmu tafsir. Imam Zamakhsari ini adalah penganut faham mu'tazilah dan beliau bertaubat dari kemuktazilahannya setelah disadarkan oleh istri mudanya.
Awal cerita taubatnya Imam Zamakhsari banyak dituturkan oleh para ulama', di antaranya dalam kitab tadzkirunnas. Bahwa suatu ketika beliau ingin meminang putri cantik dari seorang Qodhi di Makkah. Setelah mengutarakan maksud dan tujuannya, tentu si Qodhi tidak setuju dengan permintaan dari Imam Zamakhsari. Dengan alasan, Imam Zamakhsari adalah pemimpin dan penganut mu'tazilah, sementara sang Qodhi berfaham ahlussunah waljamaah. Selain itu usia Imam Zamakhsari yang sudah tua juga dirasa tidak pas jika menikahi putri sang Qodhi yang masih muda.
Setelah ditolak oleh sang Qodhi, ternyata putri beliau mendengar dan meminta kepada ayahnya agar menerima pinangan Imam Zamakhsari. Ini adalah kesempatan emas bagi saya untuk menyadarkan beliau dari kemuktazilahannya, kata si putri. Singkat cerita akad pun segera dilaksanakan dan malam pertama pun tiba.
Seperti orang-orang pada umumnya, malam pertama adalah malam yang indah yang tidak bisa ditulis dengan kata-kata, begitu juga bagi Imam Zamakhsari. Setelah selesai melakukan tugas beratnya, betapa kagetnya ketika si istri meminta untuk digauli lagi, lagi, dan lagi. Si istri minta digauli sampai 70 ronde. Padahal dalam kejuaraan tinju saja hanya sampai 12 ronde. Setelah imam Zamakhsari menyerah dan tidak mampu menunaikan pekerjaannya, barulah si istri mulai menyerang keyakinan suami tuanya itu. "Bukankah engkau berkata bahwa manusia bisa menciptakan perbuatannya sendiri?" tanya sang istri. Mendengar sanggahan istrinya itu akhirnya imam Zamakhsari terhenyak dan menyadari akan kekeliruannya. Akhirnya imam Zamakhsari pun bertaubat dan kembali mengikuti ahlussunah waljamaah.
Inti dari tulisan ini adalah sekuat-kuatnya lelaki pasti masih kalah dengan istri 😂😁😅

Jumat, 07 Januari 2022

Desa Padurenan



Padurenan merupakan salah satu desa kecil di kecamatan Gebog Kabupaten Kudus. Berbicara mengenai desa padurenan tak bisa lepas dari punden desa yaitu Raden Muhammad Syarif. Menurut buku sejarah desa padurenan yang dikarang oleh Kyai Zubai dari Wergu, Raden Muhammad Syarif ini merupakan putra dari Pangeran Yudhonegoro atau dikenal dengan Macan Wulung. Pangeran Yudhonegoro juga dikenal dengan nama Raden Bugan yang menjadi Raja Sumenep pada tahun 1648-1672 M. 

Jika menilik dari tahun itu, maka Raden Bugan hidup pada zaman Amangkurat I (1646-1677). Dan dengan demikian, Raden Muhammad Syarif diperkirakan hidup pada akhir abad 16 M dan awal abad 17 M. 

Desa padurenan dulu dikenal dengan para Ulama' dan kaum santrinya. Saya pernah ngobrol-ngobrol dengan mertua saya. Beliau bilang : "Disik iku sing terkenal gone kyai-kyai cuma telu, Kudus Wetan ning Kauman Jekulo, Kudus Kulon ning Kauman Menoro, Kudus lor ning Ndorenan". Memang dulu desa Padurenan cukup terkenal dengan para Kyai dan Ulama'nya. 

Sepeninggal Raden Muhammad Syarif ada Mbah Singo Dito. Lalu ada Ki Wolo Dombo yang ahli dalam ilmu tauhid. Menurut cerita, dulu kyai-kyai Kudus kalau memaknai فقط mereka memaknai dengan mongko ki Wolo tok. Artinya, hanya Ki Wolo yang faham secara detail tentang ilmu Tauhid. Lalu di era tahun 1900 an, ada banyak kyai yang terkenal. Diantaranya, Mbah Nawawi, Mbah Anwar, Mbah Ali Qori', Mbah Rajab, Mbah Maslani, Mbah Khudlori, Mbah Mawardi, dan Mbah Hasyim.

Untuk Mbah Rajab sendiri adalah teman seangkatan dengan Mbah Raden Asnawi. Ketika mereka berdua berkumpul dalam suatu majlis, maka Mbah Asnawi meminta agar yang berdo'a adalah Mbah Rajab karena dianggap lebih sepuh. Lalu Mbah Hasyim sendiri adalah guru dari habib Ali Mayong. Saya pernah mendapat cerita dari Pak dhe Mahfudz Noor, bahwa beliau pernah diajak oleh habib Ali untuk berziarah ke makam gurunya di Padurenan. Setelah sampai di makam Mbah Hasyim, habib Ali menangis sejadi jadinya. Setelah ditanya, habib Ali menjawab : "itu adalah makam guruku yang sangat Alim, tapi masyarakat tidak banyak yang tau". Sedang mbah Mawardi adalah kyai kharismatik yang memiliki ilmu linuwih. Orang-orang tua pasti cukup mengenal dengan kyai yang biasa dipanggil Mbah Mawar itu.

Sekarang ini boleh saya katakan desa padurenan sedang krisis kyai. Mungkin karena pergeseran zaman atau memang wis wayahe. Semoga kedepannya, desa padurenan bisa menelurkan kembali kyai-kyai dan ulama' yang bisa menjadi rujukan ummat.

Kamis, 06 Januari 2022

KHR. Asnawi



Kelahiran, Nama dan Nasab


KH Raden Asnawi, atau biasa disebut Mbah Asnawi dilahirkan pada hari Jum’at Pon, kisaran tahun 1861 M (1281 H) di daerah Damaran, salah satu desa di kecamatan Kota Kudus, Jawa Tengah. Orang tuanya memberikan nama "Ahmad Syamsyi" bagi dirinya. Nama ayah beliau adalah H. Abdullah Husnin, sedangkan ibu beliau bernama Raden Sarbinah. H. Abdullah Husnin, ayah beliau berprofesi sebagai seorang pedagang konfeksi yang tergolong besar. Apabila dirunut keatas, beliau merupakan ma keturunan ke-14 Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 KH Mutamakkin Kajen, Margoyoso, Pati, seorang kiyai yang terkenal akan kewaliannya.

Perkembangan dan Pendidikan

Ahmad Syamsyi dikenalkan pada pelajaran agama semenjak kecil oleh orang tuanya, disamping juga mengajarkan cara berdagang. Pada usia15 tahun, sekitar tahun 1876 M. orang tuanya pindah ke Tulungagung Jawa Timur. Di sana ayahnya mengajarkan cara berdagang  berdagang mulai dari pagi hingga siang. Sepulang dari berdagang, mulai dari sore sampai malam hari beliau  mengaji di Pondok Pesantren Mangunsari Tulungagung. Beliau juga pernah mengahi kepada KH. Irsyad Naib, Mayong, Jepara.

Mengajar Ilmu Agama


Sewaktu umur 25 tahun, kira-kira pada tahun 1886 M. Ahmad Syamsi menunaikan ibadah haji yang pertama Sepulangnya dari haji pertamanya, nama Raden Ahmad Syamsi diganti dengan Raden Haji Ilyas.  Nama Ilyas ini kemudian diganti lagi dengan Raden Haji Asnawi, setelah pulang dari menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya.

Kira-kira umur 30 tahun KHR. Asnawi diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu KHR.Asnawi juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adik yang bernama H. Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu KHR. Asnawi telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.

Sepulangnya dari ibadah haji ini, KHR. Asnawi mulai mangajar dan melakukan tabligh agama. Pada setiap Jumu’ah Pahing, sesudah shalat Jumu’ah, KHR. Asnawi mengajar Tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak + 18 Km dari kota Kudus, dan jalan pegunungan yang menanjak ini ditempuhnya dengan berjalan kaki. KHR. Asnawi juga selalu berkeliling mengajar dari masjid ke masjid sekitar kota saat shalat Shubuh.

Secara khusus KHR. Asnawi juga mengadakan pengajian rutin, seperti Khataman TafsirJalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan al-Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadhan bertempat di Masjid al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai KHR. Asnawi wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh al-Hafidh KHM. Arwani Amin sampai khatam. Kegiatan dakwah beliau tidaklah terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, melainkan juga menjangkau ke daerah lain seperti Demak, Jepara, Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora.

Di antara ilmu yang diutamakan oleh KHR. Asnawi adalah Tauhid dan Fiqih. Karenanya, bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya, KHR. Asnawi hingga kini masih selalu diingat melalui karya populernya yang kini dikenal dengan “Shalawat Asnawiyyah.”  Selain itu karya Asnawi seperti Soal Jawab Mu’taqad Seket, Fasholatan Kyai Asnawi (yang disusun oleh KH. Minan Zuhri), Syi'ir Nasihat, Du’aul ‘Arusa’in, Sholawat Asnawiyyah dan syi’iran lainnya juga tetap diajarkan di pengajian-pengajian pesantren dan masjid-masjid hingga saat ini.

Kehidupan di Mekah

Di Mekah, KHR. Asnawi tinggal di rumah Syeikh Hamid Manan (Kudus). Namun setelah menikahi Nyai Hj. Hamdanah (janda Almaghfurlah Syeikh Nawawi al-Bantani), KHR. Asnawi pindah ke kampung Syami’ah. Dalam perkawinannya dengan Nyai Hj. Hamdanah ini, KHR. Asnawi dikaruniai 9 putera. Namun hanya 3 puteranya yang hidup hingga tua. Yaitu H. Zuhri, Hj. Azizah (istri KH. Shaleh Tayu) dan Alawiyah (istri R. Maskub Kudus).

Selama bermukim di Tanah Suci, di samping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, KHR. Asnawi masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. Para Kyai Indonesia yang pernah menjadi gurunya adalah KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Mahfudz (Termas), KH. Nawawi (Banten) dan Sayid Umar Shatha.

Selain itu, KHR. Asnawi juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, di antara yang ikut belajar padanya, antara lain adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), KH. Bisyri Sansuri (Pati/Jombang), KH. Dahlan (Pekalongan), KH. Shaleh (Tayu pati), KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KHA. Mukhit (Sidoarjo). Di samping belajar dan mengajar agama Islam, KHR. Asnawi turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah bersama dengan kawan-kawannya yang lain.

Pada waktu bermukim ini, KHR. Asnawi pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan. Pembahasan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu KHR. Asnawi bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari tulisan KHR. Asnawi dan Syeikh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi fatwanya. (sayang, catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama kitab-kitabnya dan sayang keluarga KHR. Asnawi lupa masalah apa yang dibahas, meskipun sudah diberitahu).

Melihat tulisan dan jawaban KHR. Asnawi terhadap tulisan Syeikh Ahmad Khatib itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan KHR. Asnawi. Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syeikh Hamid Manan untuk diperkenalkan dengan KHR. Asnawi Kudus. Akhirnya disepakati waktu perjumpaan yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan kepada KHR. Asnawi dan diatur agar KHR. Asnawi nanti yang melayani mengeluarkan jamuan.

Sesudah shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek ke rumah Syeikh Hamid Manan dan KHR. Asnawi sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap, bertanyalah tamu itu: “Fin, Asnawi?” (Dimana Asnawi?), “Asnawi? Hadza Huwa” (Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk KHR. Asnawi yang sedang duduk di pojok, sambil mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan, Mufti segera berdiri dan mendekat KHR. Asnawi, seraya membuka kopiah dan diciumlah kepala KHR. Asnawi sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek kepada Syeikh Hamid Manan: "Sungguh saya telah salah sangka, setelah berkenalan dengan Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya yang kecil dan rapih".

Teguh Dalam Berdakwah

Saat menjenguk kampung halamannya, bersama kawan-kawannya KHR. Asnawi mendirikan Madrasah Madrasah Qudsiyyah (1916 M). Dan tidak berselang lama, KHR. Asnawi juga memelopori pembangunan Masjid Menara secara gotong royong. Malam hari para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya. Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itulah, terjadi huru-hara pada tahun 1918 H, kejadian ini berbuntut pada penangkapan terhadap KH. Asnawi dan rekannya KH. Ahmad Kamal

Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain, dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah. Mereka pun akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dengan masa hukuman 3 tahun.

Pada zaman penjajahan Belanda, KHR. Asnawi  juga sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya tentang Islam serta menyisipkan ruh nasionalisme dalam pidatonya. Begitu juga pada masa pendudukan Jepang. KHR. Asnawi pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok KHR. Asnawi dikepung oleh tentara Dai Nippon, dan KHR. Asnawi pun dibawa ke markas Kempetai di Pati.

Meski sering menghadapi ancaman hukuman, namun KHR. Asnawi tidak pernah berhenti berdakwah, amar ma'ruf nahi munkar. Bahkan didalam penjara sekalipun, KHR. Asnawi tetap melakukan amar ma'ruf nahi munkar. KHR. Asnawi tetap membuka pengajian di penjara. Banyak kemudian di antara para penjahat kriminal yang dipenjara bersamanya, kemudian menjadi murid KHR. Asnawi.

Fatwa Larangan Berdasi

Dalam memperjuangkan Islam, KHR. Asnawi memiliki pendirian yang teguh. Prinsip-prinsip hidupnya sangat keras dan watak perjuangnnya terkenal galak, sebab kala itu bangsa Indonesia sedang dirundung nestapa penjajahan kaum kafir. Keyakinan inilah yang dipeganginya sangat kokoh sekali. Bagi KHR. Asnawi, segala hal yang dilaksanakan oleh Belanda tidak boleh ditiru. Bahkan tidak segan-segan KHR. Asnawi memfatwakan hukum agama dengan sangat tegas, anti-kolonialisme, seperti mengharamkan segala macam bentuk tasyabbuh (menyerupai) perilaku para penjajah dan antek-anteknya.

Salah satu diantara fatwanya yang keras ini adalah larangan untuk memakai berdasi dan menghidupkan radio, termasuk menyerupai gaya jalan orang-orang kafir (Belanda dan China). Fatwa larangan berdasinya ini sangat terkenal, hingga suatu ketika KH Saifuddin Zuhri melepaskan dasi dan sepatunya ketika mengunjungi KHR. Asnawi. KH Saifuddin Zuhri kala itu sedang menjabat Menteri Agama, namun demi menghormati KHR. Asnawi, ia bertamu hanya dengan memakai sandal tanpa dasi.

Tawaran Menjadi Penghulu

Pada kisaran tahun 1927 M. KHR. Asnawi membangun pondok pesantren di Desa Bendan Kerjasan Kudus, di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih (Langgar Dalem) dan dukungan dari para dermawan dan umat Islam. Pada tahun ini pula, Charles Olke Van Der Plas (1891-1977), seorang pegawai sipil di Hindia Belanda, pernah datang ke rumah KHR. Asnawi untuk meminta kesediaannya memangku jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas KHR. Asnawi menolak penawaran tersebut.

Dalam pandangan KHR. Asnawi, jika dirinya diangkat sebagai penghulu, maka tidak akan lagi dapat bebas melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat. Beda halnya jika tetap menjadi orang partikelir, ia dapat berdakwah tanpa harus menanggung rasa segan (ewuh pakewuh).

Wafatnya KH Asnawi

KHR. Asnawi berpulang ke rahmatullah pada Sabtu Kliwon, 25 Jumadil Akhir 1378 H. bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M. pukul 03.00 WIB. KHR. Asnawi meninggal dunia dalam usia 98 tahun, dengan meninggalkan 3 orang istri, 5 orang putera, 23 cucu dan 18 cicit (buyut). Kabar wafatnya KH.R Asnawi disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat Jakarta lewat berita pagi pukul 06.00 WIB. Penyiaran itu atas inisiataif Menteri Agama RI KH Wahab Chasbullah yang ditelepon oleh HM. Zainuri Noor.

Senin, 03 Januari 2022

Workshop MA Qudsiyyah Kudus

  


Tanggal 2 dan 3 Januari 2022 tepatnya hari Ahad dan Senin, MA Qudsiyyah mengadakan Workshop tentang kurikulum dan pengembangan perangkat pembelajaran. Saya mengikuti acara tersebut selama dua hari. Sebenarnya saya mengajar di MA Qudsiyyah Putri, tapi berhubung MA Qudsiyyah Putri baru proses ijin operasional jadi masih menginduk dengan MA Qudsiyyah (putra). Kegiatan tersebut berlangsung di suatu Villa, entah apa namanya, tapi dalam surat undangan ditulis namanya Villa Kaligrafi. Lokasi Villa itu ada di pertigaan sebelum Pijar Park, masuk ke kanan kira-kira 500 meter.


Saya dulu pernah mengajar di MA Qudsiyyah (putra) antara tahun ajaran 2013/2014 sd 2016/2017. Setelah ada MTs Qudsiyyah Putri yang diresmikan bulan Juli 2017, akhirnya saya diminta fokus untuk mengajar di putri saja.


Dalam Workshop yang berlangsung dua hari itu, saya seperti bernostalgia dengan guru-guru saya, karena banyak guru senior yang juga mengikuti acara tersebut. Walaupun sudah pada sepuh, tapi antusias beliau-beliau patut diacungi jempol lima 👍👍👍👍👍😁. Diantara yang ikut sebut saja, pak Noor Kholis, Mbah Dardi, pak Hilal, pak Hanafi, Pak TB, pak Gus Hana, pak Nafis, pak Fauzul, pak Amin Wildan, pak Chasin, siapa lagi ya, mungkin ada yang lupa. Ada juga guru dari luar (guru bantu) yang ikut khidmah di MA Qudsiyyah, yaitu pak Joko dan pak Supri. Sementara pak Ali Yahya selaku kepala madrasah, juga termasuk guru senior tapi tidak sempat mengajar saya.


Sedang yang lain, saya anggap sebagai guru-guru muda ada kang mafik waka kesiswaan (senior saya di Qudsiyyah dan Sarang), Najib (senior saya 3 tahun di Qudsiyyah, tapi jadi teman seangkatan saya waktu di Sarang), Ahla (cucu mbah Sya'roni), Zidny Ielma (guru BK), Ahmad Maimun (putra Yi Syaiun ndorenan), Abdul Khalim waka kurikulum (tonggo ndorenan), dan TU-TU (Tukang Utak Utuk), tenaga muda yang sangat handal seperti gus gandrung Mifrohul Hana Chamami , Khoiri Noor , kang Hasan Ruskandar, dan guru-guru baru yang saya kurang begitu kenal.


Workshop itu juga diikuti oleh guru-guru putri yang berjumlah 12 orang. Untuk nama-namanya tidak perlu saya sebut karena fb saya selalu dipantau oleh istri saya 😂.

Semoga dari workshop tersebut bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan menjadikan MA Qudsiyyah semakin berkembang. Amiin.

Sabtu, 01 Januari 2022

Perbedaan Kyai Jawa Tengah dan Jawa Timur

 


Kemarin istri saya buat status terkait bercandanya para lelaki, kenapa mesti seputar wayoh, poligami, dst. Ya mungkin istri saya kesal dengan komen-komen bercanda itu. Orang-orang yang komen juga itu-itu aja. Sebagai suami yang sayang istri, saya patut untuk membela. Ini bukan masalah berani atau tidak, bukan masalah takut istri atau tidak, dan bukan masalah halalnya poligami atau tidak. Tapi ini adalah tentang cinta dan kasih sayang.


Sayyid Al Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman al-Jufri pernah ditanya seorang reporter perempuan tentang poligami, beliau menjawab sebenarnya saya adalah orang yang tidak anti poligami dan saya juga pelaku poligami, namun demi Allah seandainya saya tau poligami seperti ini (sulitnya menjaga keadilan), saya tidak akan berpoligami.


Sebenarnya, laki-laki yang banyak berbicara tentang poligami itu mayoritas tidak berani melakukannya. Ibarat rusa yang bercanda di depan kawan-kawannya kalau dia berani berlari di depan Singa, tapi kenyataannya dia tidak pernah melakukannya. Lalu apa arti judul di atas. Jadi ada beberapa kyai di Jawa Timur yang melakukan poligami namun sangat jarang terjadi di Jawa Tengah. Ada perbedaan pandangan masyarakat antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Coro wong Jawa Timur, Kyai koq bojone siji. "Kyai opo iku". Tapi ning Jawa Tengah, ono kyai koq bojone punjul songko siji malah dipaido masyarakat. "Kyai koq gragas" 😂😂😂

 
Copyright © 2022 ISBAH KHOLILI. Designed by MikiAlQudsy